Senin, 11 Agustus 2014

Sapatu Teteh Kaduruk Teu?

Penanggalan Hijriyah sudah menunjukkan angka 15. Artinya setengah bulan sudah kita tinggalkan hari lebaran. Masih di bulan Syawal, namun keriuhan silaturahmi keluarga, kekhidmatan sholat Ied di lapangan, kemacetan jalanan yang memanjang antara rumah tinggal dan tempat mudik, kepadatan lalu lintas angpau lebaran dengan lembaran 'jeger'nya (uang kertas baru biasanya masih licin, alias jeger dalam bahasa sunda,   itu adalah ciri khas salam tempel lebaran), perlahan sirna. Kembali pada rutinitas harian daerah perantauan. Ritme kerja, sekolah dan aneka kegiatan lain mulai kembali menggeliat.

Tidak berarti tak menyisakan apapun.

Pasar kembali tumpah ke jalanan. Tapi memang hanya pasar, sepertinya, yang di hari H lebaran masih saja tidak libur. Kepadatan jalur antar kota antar propinsi kembali normal. Pak polisi mulai meninggalkan pos operasinya, para jurnalis menggulung kabel dan meninggalkan jalanan yang selama sekian hari dia akrabi sebagai corong pemirsa yang mau mudik.

Beberapa baru saja menyelesaikan 'Nyawalan' alias shaum 6 hari di bulan Syawal. Beberapa masih menyisakan utang qodlo (bagi yang sakit atau halangan lain). Tak sedikit yang tengah memulihkan tubuhnya akibat kelelahan atau sakit pasca lebaran.

Di lingkar kehidupan saya, ternyata lebaran tahun ini menyisakan banyak duka. Bukan hendak menghitung musibah atau ujian, saya tuliskan hal ini. Melainkan sebagai penanda betapa kita tak pernah bisa menolahk apapun yang diberikan Allah, hatta musibah ujian atau apapun namanya. Atau memilih kapan harusnya ujian itu datang, kalau bisa ya jangan menjelang lebaran, gitu. 
Tidak. Manusia tak memiliki pengetahuan dan kemampuan itu.

1. Musibah Kebakaran dan kematian

Ini tentang adik saya, Rudi Rudiansyah namanya. Bukan adik kandung, melainkan teman sekantor yang sudah saya anggap adik, karena selain usianya lebih muda juga kedekatan hati dan pertemanan. Berita ini tentangnya.
Hari itu Sabtu, 26 Juli 2014, waktu sahur WIB, kira2 pukul 3 pagi. Sms menyala :
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, parantos ngantunkeun mertuana Pa Rudi tadi wengi, bumina kahuruan"  ("Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, telah meninggal dunia mertuanya Pa Rudi tadi malam, rumahnya kebakaran")
Berita yang menyentak di dini hari. Saya tak ingin, bahkan sekedar membayangkan,  bertanya penyebab kematian ayah mertua Pak Rudi. Terlalu takut.

Namun, akhirnya memang kenyataan harus dihadapi. Pagi Sabtu itu,  jalanan sepanjang rumah hingga Wanaraja, rumah Pak Rudi, dipadati kendaraan pemudik yang sulit bergerak. Hari Sabtu itu, ketika seharian matahari tak muncul, Garut diguyur hujan hingga sore, kami bergantian melayat kediamannya. Benar, rumahnya habis terbakar, bahkan, Ya Allah ...., ayah mertuanya tak dapat tertolong karena tak mampu keluar dari kobaran api yang menggulung. Astaghfirullahal'adzim ...
Tak ada yang tersisa, bahkan motornya habis dilalap api. Syukurlah, mobil dan yang terutama, istri dan ketiga buah hati yang masih kecil, terselamatkan. Meski ya itu tadi, ayah mertuanya ...

Tak ada yang bisa menduga apapun, bahkan untuk 5 menit ke depan, apa yang akan kita alami. Menyaksikan kenyataan seperti itu, tak bisa tidak, semua orang turut tak percaya, sedih, bertanya-tanya kenapa bisa? Ada banyak reaksi yang muncul. Belum lagi bila mendengar tanya si kecil ketika mengais sisa-sisa kebakaran :
"Sapatu teteh kaduruk teu?" ... ("Sepatu teteh terbakar tidak?") tangannya sibuk mengais sisa kebakaran, berharap masih ada sesuatu. Sepatu yang baru kemarin ia beli, untuk menyambut lebaran.
Asap mengepul disapu angin.
Lusa lebaran.  
Semua tak ada sisa ...

Bukan, bukan menangisi musibah. Bukan mengasihani diri. Seringkali kepiluan muncul bukan karena kemalangan kita, tapi ketika menyaksikan buah hati tengah dirundung sedih. Lebaran kali ini segala persiapan baju baru, sepatu baru, berubah jadi abu.
Nelangsa.

Tapi, the life must go on. Hidup tak harus berhenti. Tuhan mengirim ujian agar kita menaiki derajat lebih tinggi. Bila kita sabar dan ikhlas menjalaninya, maka lulus, kita tiba di tempat lebih mulia. Jika tidak, apakah semua akan sia-sia? Jangan sampai terjadi. 

Sungguh, saya memuji ketabahan Pak Rudi dan istri saat menghadapi takdirnya. Saya tak bisa bayangkan bila musibah serupa terjadi pada saya. Ya Allah ... Astaghfirullahal'adzim, saya mungkin tak bisa setabah mereka.

Lihat pula anak-anak mereka. Tetap bermain.
Saya harus berguru pada anak-anak itu.

2. Musibah Sakit

Satu per satu kabar sakit teman sekantor saya berdatangan. Lihat saja :
  • Keluarga bu Titin Murtini : dimulai dari suami, lalu ibu, dirinya, kemudian puteranya, bergiliran dirawat di rumah sakit karena DBD
  • Istri Pak H. Iim Supiana, masuk rumah sakit sejak hari pertama lebaran hingga 10 hari perawatan
  • Pak Nurjaman dirawat karena DBD
  • Ibu Hj. Nur Nurhayati dirawat karena DBD, Thypus lalu menjalar ke jantung hingga harus masuk ICU
  • Ibu Ai Rahmawati dirawat karena sakit Cikungunya
  • Ibu Inayati menjalani operasi kista
  • Ibu Hikmah saat menjalani cuci darah untuk ke sekian kalinya harus koma lalu meninggal dunia
Lingkar keluarga besar MTsN Garut tengah diuji dengan kesabaran dan keikhlasan pada lebaran kali ini.

Semua terjadi secara bergantian hampir bersamaan.

Sekali lagi, bukan saya ingin mengumbar kemalangan. Sebab apa sih sebenarnya arti kemalangan? Bisa jadi apa yang kita anggap luka sejatinya ialah jalan kebaikan. Pun sebaliknya, apa yang kita pandang kebaikan justru adalah kemalangan.

Allah tengah menguji kesabaran, bahkan dari kejadian yang menimpa bukan kita, tapi menimpa saudara kita. Peringatan itu bisa datang lewat jalan mana saja. Setiap kita harus mampu menangkap hikmahnya.

3. Terjebak Macet

Lebaran tak macet?
bukan lebaran namanya. Maka nikmatilah. Meski seharusnya ada solusi untuk kemacetan yang kian haru kian mengamuk.

Itu penanda lebaran tahun ini.
Saya tulis sebagai peringatan, bahwa apapun warna-warni hidup, itulah yang harus kita jalani. Pilihannya mau dijalani dengan gerutu atau dengan sabar dan ikhlas. Bila gerutu menjadi pilihan, maka sia-sia kemalangan. Jika sabar dan ikhlas yang dipilih, maka pahala dari Allah sungguh sangat tak terbatas.

Selamat lebaran, sahabat, semoga Allah takdirkan kita untuk mampu menjalani hidup lebih dewasa.
Maafkan saya ...







2 komentar:

Silakan tulis komentar anda, sobat. Terima kasih sudah mampir, ya ...