Jumat, 11 Februari 2011

... kematian ...


Kematian adalah sebuah keniscayaan, meski ia selalu menjadi misteri bagi manusia. Seperti membidik awan, tak pernah seorangpun mampu membidik dengan tepat, sebab awan keburu hilang atau bergeser. Kematian tak bisa diminta atau ditolak. Seperti mengejar matahari, tak seorangpun bisa memilih kapan ia harus 'berhenti'. Jangankan memilih waktu dan tempat, menduga kapan kematian tiba pun tak seorangpun diberi kemampuan oleh Sang Pemilik Ajal.

Bilapun ada yang bisa melihat tanda-tanda kematian, Allah Azza Wajalla hanya mengilhamkannya serba sedikit. Tak ada yang bisa menduganya dengan tepat. Maka, disinilah barangkali letak alasan mengapa kematian menjadi sebuah hal yang menakutkan. Menakutkan karena ketidaktahuan, menakutkan karena tak terraba dan tak terindera. Menakutkan karena manusia tak dimampukan untuk tahu.

Tapi benarkah ia memang pantas ditakuti?

Kematian atau ajal adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis, begitu wikipedia menerangkan.
"Setiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami, kamu dikembalikan" demikian Allah berfirman dalam Al-quran surat Al-Ankabut : 57)

Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit ataupun oleh sebab tidak alami seperti kecelakaan. Kelak, setelah jasadnya dikuburkan ia akan mengalami proses pembusukan. Tubuh yang semula demikian indah, akan berakhir dengan menjijikkan.

Andai saja Allah mau, dengan mudah tak akan Ia hancurkan tubuh indah manusia lalu membusuk dan kembali ke tanah. Tapi, selalu saja ada Kehendak di balik segala kejadian.
"Katakanlah : Sesungguhny kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kami, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS Al-Jumu'ah : 8)

Akhir kehidupan yang sangat dahsyat yang menunggu kita, semestinya makin memahamkan diri bahwa kita bukanlah hanya tubuh semata, melainkan "jiwa" yang dibungkus dalam tubuh. Dengan kata lain, manusia harus menyadari bahwa ia memiliki suatu eksistensi di luar tubuhnya. Bahwa kematian tubuh akan segera terjadi. Tubuh yang demikian indah ini satu saat akan menjadi makanan cacing. Sedang eksistensi manusia di luar tubuh, ia akan kembali kepadaNya. Ruh kitalah yang akan tetap hidup. Ruh inilah yang akan menghadap Allah. Ruh inilah yang akan pulang ...

Maka bila memang kematian pantas untuk ditakuti, apa yang sudah kita lakukan untuk menghadapinya?

Katakanlah: “Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian) kamu tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.” (QS. Al-Ahzab:16)

Maka sudahkah kita memiliki bekal untuk pulang?

Wallahu a'lam bishawab

Sabtu, 05 Februari 2011

monolog lagi

Berpuluh tahun Allah menitipkan ruang dan waktu untuk kurajut menjadi sebentuk manfaat bagi bumi dan kehidupan fana.

Berbilang tanda yang telah diisyaratkan olehNya sebagai penuntun jalan, meski hanya sedikit saja yang mampu kufahami.

Tak terbilang cinta yang telah Ia turunkan sebagai bekal mengisi rangkaian hari-hari kirimanNya, untuk diestafetkan pada sesama dan seantero bumi.

Lalu mengapa cinta itu kemudian hanyut ditelan kepandiran berbongkah hati yang bebal memberi makna pada setiap isyaratNya, yang paling jelas sekalipun.

Benar ...
lisanku demikian fasih menyebut asmaNya
hatiku runduk memanggil DzatNya
keseharianku kuusahakan ada dalam rangkaian koridorNya
tak kubiarkan darahku menyerap hal-hal yang Ia benci

Tapi ...
tetap saja aku tak yakin
sudahkah Ia ridlo atas hidupku?

Selasa, 01 Februari 2011

sebuah monolog


Perjalanan ini tak kan pernah berakhir, bila engkau tetap memikirkannya. Sebab ia bukan untuk dipikirkan melainkan untuk dijalani.

Pertanyaan ini tak akan pernah terjawab, bila engkau menyuarakannya dalam benak, sebab jawabannya tidak tersimpan disana melainkan bersemayam di dalam jiwa.

Hendak kemana engkau melangkah?
Hendak kemana engkau berlari?
Hendak kemana engkau mencari?

Sejauh engkau berlari, ia semakin menjauh.
Sekeras engkau mencari, ia semakin tak teraih.
Sebab engkau keliru memilih

Wahai para pencari ...
usah pergi ke negeri jauh
usah terbang ke negeri sebrang
usah kerutkan kening
usah berdebat dengan sengit

Kembalilah pada diri
tengok hatimu
pandang jiwamu
kembalilah

yang kau cari ada disana

kembalilah pada hati
kembalilah